Islamic Widget

Laman

Selasa, 28 September 2010

Kok Jodoh Ku Begono





Seorang sahabat mengirim sms curhat tentang suaminya. Dalam
curhatan itu ia mengeluhkan tentang tindak tanduk suaminya yang lebih
banyak kontra dengan dirinya. Merasakan betapa lelahnya ia menghadapi
suaminya yang 'loading'nya lama banget katanya. Punya imam begitu…cuapee
deh!

Berusaha bijak, aku membalas sms nya, menasehati agar ia berdamai
dengan keadaan, namanya juga udah jodoh, suka tidak suka yaaa… jalani
dan bersabar.
Sang sahabat membalas smsku dengan jawaban, "Aku sih paham, memang
udah jodoh…tapi kok jodohku begono?"

Mungkin, pertanyaan ini menghinggapi begitu banyak orang. Ketika
mereka telah menikah, ternyata pasangan hidupnya jauh dari harapan.

Begitulah manusia, kita ditakdirkan dengan kondisi siap menerima
segala hal yang menyenangkan dan sesuai dengan keinginan kita. Tapi
sedikit sekali dari kita, yang siap dengan hal-hal buruk yang terjadi
dalam kehidupan kita. Begitupula dengan masalah jodoh.
Siapa yang tidak
ingin memiliki pasangan hidup yang sholeh atau sholehah? Siapa yang
tidak ingin memiliki pendamping yang berakhlak baik? Seburuk apapun diri
kita, pastinya kita ingin pasanganan hidup yang baik. Tetapi tidak
setiap orang mendapati kenyataan ini dalam kehidupan.

Ada yang suaminya sungguh baik, tetapi istrinya galak, matre dan
tukang gosip. Ada yang istrinya sholehah, tapi suaminya tukang mabuk,
suka judi dan bersikap kasar. Atas fenomena ini, mungkin banyak yang
bertanya-tanya, kok kesannya jadi nggak adil ya?
Orang baik-baik, tapi
dapet jodohnya begitu?

Memang jadi sulit dijelaskan. Tetapi jika ingin dipahami, inilah
ujian Allah. Sesungguhnya Allah berkehendak membuka ladang amal yang
seluas-luasnya bagi diri kita, lewat tingkah polah pasangan hidup kita,
yang jauh dari harapan. Alhamdulillah, tidak usah cari jauh-jauh, ladang
amal ada di depan mata. Karena pernikahan memang ladang amal soleh.
Bagi wanitanya, pun bagi laki-lakinya. Maka bagi yang “tidak beruntung”
dengan pasangan hidup yang tidak sholeh atau sholehah, mudah-mudahan
tetap dapat memberi pelayanan yang terbaik bagi pasangannya, dengan
harapan semoga mendapat ridho Allah dan semoga kelak mendapat derajat
yang tinggi di sisi-Nya.

Jika kita merasa tidak beruntung terhadap pasangan hidup kita, mari
mengevaluasi diri. Apa sesungguhnya niat kita ketika hendak menikah?
Mudah-mudahan, jawaban dari pertanyaan itu, dapat memperbaiki mood kita
yang buruk karena pasangan hidup tidak sesuai harapan.

Jika benar kita meniatkan pernikahan sebagai ibadah atau sarana
pengabdian kita kepada Sang Khalik, maka semestinya pelayanan kita
terhadap pasangan hidup kita, tidak ada embel-embelnya. Artinya, mau dia
bertingkah seperti apapun tidak jadi masalah, karena pasangan hidup
hanya sarana untuk mengabdi kepada Allah. Fokus dan tujuan kita adalah
Allah. Jika ternyata pasangan hidup kita adalah pribadi yang sholeh/ah,
maka itu adalah bonus.

Jika kita merasa tidak beruntung terhadap pasangan hidup kita,
sebelum berputus asa, mungkin ada baiknya kita merenung kembali.
Tidakkah kita terlalu meninggikan kriteria bagi pasangan hidup kita?
Sikap berharap secara berlebihan terhadap pasangan hidup, berpotensi
menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik. Karena pola pikir
yang tertanam dalam diri kita adalah menerima kebaikan, bukan keinginan
untuk saling mengisi dan memperbaiki satu sama lain.

Semakin tinggi standard yang kita tetapkan, maka akan semakin besar
potensi kita untuk kecewa. Karena semakin tinggi standard, semakin
terlihat jelas jika terjadi hal-hal yang melenceng dari standard.

Memiliki harapan tinggi boleh-boleh saja. Tapi, sebelum kita bermimpi
mendapatkan suami seperti Rasulullah, lebih baik kita berkaca diri,
sudahkah kita seperti Ibunda Khadijah r.ha? Sebelum berharap memiliki
istri seperti Fatimah Az-Zahra r.ha, lebih baik kita bercermin, sudahkah
kita seperti Ali bin Abi Thalib r.a?

Jadi, berprasangka baiklah kepada Allah, kemudian berserah diri.
Jangan mendikte Allah tentang jodoh kita. Percaya, bahwa Allah memberi
kita yang terbaik sesuai dengan penilaian Allah terhadap diri kita.
Yakin, Allah tahu yang paling cocok untuk diri kita.
Kemudian berserah
dirilah dan bersabar dengan jodoh pilihan dari Allah. Insya Allah, ini
akan lebih menenangkan batin dan membuka pintu keikhlasan.

Selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Maka berpikirlah positif
apapun yang terjadi. Melihat segala sesuatu dengan
kemungkinan-kemungkinan terbaik. Jika pasangan hidup pemalas, mungkin,
Allah berkehendak kita menjadi lebih rajin. Jika pasangan hidup pemarah,
mungkin, Allah berkehendak kita menjadi lebih sabar. Jadi, orientasi
kita selalu ke Allah. Insya Allah, ini lebih melapangkan hati.

Sebagai penutup, mungkin kisah yang terjadi di masa Harun Al-Rasyid
berkuasa di bawah ini, bisa menjadi pencerahan. Diceritakan, terdapatlah
seorang wanita muda yang cantik dan sholehah, namun bersuamikan seorang aki-laki tua yang buruk rupa, buruk pula perangainya.
Wanita tersebut tinggal dalam sebuah kemah. Kebetulan ia kedatangan
seorang tamu. Ketika datang suaminya, bergegaslah wanita itu mengambil
air, kemudian membasuh tangan dan kaki suaminya. Suaminya tidak
menunjukkan sikap yang simpatik atas pelayanan istrinya. Atas sikap
suami tersebut, sang tamu berkomentar. Mengapa sang wanita harus
bersusah payah berkhidmat sedemikian rupa padahal suaminya sudah tua,
buruk rupa dan kasar. Atas komentar tamu tersebut, sang wanita menjawab.
“Aku mendengar Rasulullah bersabda, bahwa iman terbagi menjadi dua.
Separuh dalam syukur dan separuh dalam sabar. Aku sangat bersyukur Allah
menganugerahkan kepadaku wajah yang cantik. Maka aku ingin
meyempurnakan separuhnya dengan bersabar atas perlakuan suamiku.”

Wallahu’alam
Sumber : Era Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar